Inggris Alami Krisis Identitas Karena Abaikan Akar Pagannya?

“Renaisans pagan sudah lewat dari jadwal. Eropa perlu menyembuhkan jiwanya. Di bawah Kekristenan, Eropa belajar untuk menolak leluhurnya, masa lalunya, yang mana tidak bagus untuk masa depannya pula. Eropa menjadi sakit karena ia koyak dari warisannya sendiri, ia terpaksa mengingkari akarnya. Jika Eropa hendak disembuhkan secara spiritual, ia harus mengembalikan masa lalu spiritualnya—minimal ia tidak boleh memegangnya dengan rasa malu seperti itu.” (Ram Swarup)

Agama Asli Eropa Adalah Bagian Tak Terpisahkan Dari Ras Eropa

Semua bentuk asli budaya dan agama Eropa dikembangkan dari landasan genetik mereka dan mereka adalah lambang dan ekspresi intisari spiritual terdalam. Oleh sebab itu, paganisme Eropa bukan sekadar “agama” yang orang Kulit Putih pilih untuk dianut atau tidak dianut. Semua Orang Kulit Putih, entah kristiani atau ateis, mewarisinya dan membawanya dalam urat-uratnya, suka tidak suka.

Monoteisme Ibrahimik – Pemecah-belah Kebhinnekaan Manusia dan Dewa

Kaum pagan, mengakui perbedaan di antara bangsa-bangsa, juga mengakui bahwa bangsa-bangsa menyembah dewa-dewa yang berbeda dari mereka dan mempunyai adat-istiadat berbeda, dan mereka takkan pernah terpikir untuk mengajarkan agama atau moral mereka sendiri di luar bangsa mereka. Akan konyol jika mereka mengajarkan penyembahan Odin kepada bangsa kulit hitam, sebagai contoh, dan mereka tak peduli bangsa-bangsa Semit menyembah Moloch.

Mungkinkah Pagan dan Kristen Bersatu? Mana Yang Lebih Baik: Pribumi Kulit Putih Pagan atau Imigran Kulit Hitam Kristen?

Seluruh moralitas Eropa dengan nilai-nilai seperti keberanian, kekuatan, keindahan, kearifan, keluhuran, dll berasal dari tradisi pagan kita, sehingga fondasi etika Eropa TETAP pagan. Jadi, kita tak butuh kristen untuk menjaga nilai-nilai baik, dan berbeda dari kristen, pandangan keduniaan pagan eropa betul-betul tertanam dalam darah dan intisari spiritual kita, dan terlebih lagi, sebagian besar aspek kekristenan telah mencegah kita untuk menanggulangi eksistensi kita sebagai ras dengan, contohnya, menentang ilmu eugenik, sebab hirarki nilainya berbeda dari hirarki nilai yang dianugerahkan Alam pada kita.

Orang Amerika Diminta Memilih Nasionalisme atau Globalisme

Dalam skenario ideal, kita bisa memilih keduanya, mengingat bahwa tanpa sebuah planet tidak akan ada Amerika Serikat. Idealnya, mayoritas kita akan lebih suka membuat Amerika hebat lagi sambil juga membuat Bumi hebat lagi. Ini terasa menantang, jika bukan mustahil, di bawah kepemimpinan Trump.

Globalis vs. Nasionalis – Yang Mana Anda?

Telusuri kembali sejarah dan Anda akan dapati ide-ide yang menimbulkan polaritas menyeret manusia ke dalam kubu-kubu bersaing, menyelesaikan perselisihan di kotak suara dan medan perang. Monarkisme vs. Republikanisme merobek-robek Inggris dalam Perang Sipil kita, mencapai puncaknya dengan pemenggalan Charles I. Komunisme vs. Kapitalisme memerciki peta dunia dengan tinta merah dan biru, menempatkan Timur lawan Barat di ambang Armageddon nuklir. Kini sebuah perpecahan lain telah membentang, Globalisme vs. Nasionalisme. Dua visi pemerintahan yang akan mengundang orang-orang untuk memilih satu sisi.

Globalisme Adalah Kemenangan Cita-cita Barat

Tapi kebanyakan dari apa yang dipandang sebagai “globalisme” selebihnya adalah penyebaran cita-cita kebebasan politik dan ekonomi Barat secara luar biasa. Sebagai contoh, kata lain untuk “perdagangan bebas” adalah “kapitalisme”, salah satu sumbangsih besar Barat kepada dunia. Jika ini adalah globalisme, mari kita memanfaatkannya sebaik mungkin. Adalah luar biasa aneh bahwa presiden Amerika Serikat akan memunggungi ide-ide ekonomi Barat atas nama melindungi dan mempromosikan identitas nasional Amerika.

Mark Zuckerberg Mengatakan Kepada Lulusan Harvard Untuk Memeluk Globalisme

“Ini perjuangan zaman kita,” lanjutnya. “Kekuatan kebebasan, keterbukaan, dan masyarakat global melawan kekuatan otoritarianisme, isolasianisme, dan nasionalisme. Kekuatan pendukung arus pengetahuan, perdagangan, dan imigrasi melawan orang-orang yang akan memperlambatnya.”

Nasionalis Kulit Putih Berduyun-duyun Lakukan Tes Genetik Leluhur. Sebagian Tidak Suka Dengan Hasilnya.

Itu momen kemenangan aneh atas rasisme: Craig Cobb, supremasis kulit putih penyandang senapan, berdandan setelan gelap dan dasi merah untuk acara TV siang, mendengar bahwa tes DNA mengungkap leluhurnya hanya “86% Eropa, dan...14% Afrika Sub-Sahara”.

Nasionalisme vs. Globalisme – Sebuah Film

Masa lalu bukanlah prolog. Mungkin dunia akan menjadi lebih terbelah, Uni Eropa akan pecah, Amerika Serikat akan menjadi lebih isolasionis, konflik lebih besar akan terjadi antara AS, Korea Utara, dan negara-negara lain. Pasukan nasionalisme dan populisme, yang mendorong orang-orang untuk berbalik ke dalam, menutup diri, dan menolak hal-hal yang saya hargai (globalisme, keterbukaan, kebebasan bergerak) mungkin jadi lebih menonjol.