Inggris Alami Krisis Identitas Karena Abaikan Akar Pagannya?

Oleh: Ranbir Singh
29 April 2014
Sumber: Hindu Human Rights

“Renaisans pagan sudah lewat dari jadwal. Eropa perlu menyembuhkan jiwanya. Di bawah Kekristenan, Eropa belajar untuk menolak leluhurnya, masa lalunya, yang mana tidak bagus untuk masa depannya pula. Eropa menjadi sakit karena ia koyak dari warisannya sendiri, ia terpaksa mengingkari akarnya. Jika Eropa hendak disembuhkan secara spiritual, ia harus mengembalikan masa lalu spiritualnya—minimal ia tidak boleh memegangnya dengan rasa malu seperti itu.” (Ram Swarup)

David Cameron

Mantan PM David Cameron menegaskan bahwa Inggris tetap negara Kristen. Apakah ini sebuah upaya untuk menemukan kembali akar nasional pasca serangan elektoral oleh UKIP, atau bayang-bayang pemisahan Skotlandia dari Kerajaan Inggris? Mantan Uskup Agung Canterbury, Dr. Rowan Williams, membalas dengan berkata, “Kita sekarang berada di sebuah negara pasca-Kristen.”

Salib Cameron

Di lain pihak, suksesornya sebagai kepala Gereja Inggris mapan, Most Rev Justin Welby, mendukung Perdana Menteri Cameron karena sistem hukum dan etika Inggris berlandaskan Kristen. Dukungan mengejutkan datang dari pemimpin-pemimpin agama minoritas, di mana bahkan para pengaku pemimpin dan juru bicara Hindu menyokong klaim Cameron. Argumennya adalah bahwa sebagaimana Inggris negara Kristen, maka India negara Hindu.

Namun ini penyejajaran keliru. Kristen mengandalkan ketaatan pada seperangkat kepercayaan dan sanksi ilahi. Buang itu, maka Anda mendapatkan perangkat etika lebih universal yang berawal dari masa lalu pagan. Malah, yang tersisa dari Kristen adalah kepercayaan pagan asli. Seiring Eropa menjadi ter-Kristen-kan, hari-hari raya pagan kehilangan karakter keagamaannya dan berubah menjadi perayaan sekuler populer, seperti May Day, atau dilebur dengan atau digantikan oleh hari raya Kristen seperti Natal, Paskah, dan All Saint’s Day. “Hindu” adalah istilah etno-geografis; Hinduisme mencakup banyak kredo dan mazhab pemikiran yang disatukan oleh konsep Dharma.

Natal didasarkan pada festival musim dingin pagan. Penggunaan pohon adalah pengingatnya yang paling tajam. Yule atau Yuletide (“Yule time”) adalah festival keagamaan pagan yang dirayakan oleh bangsa-bangsa Jermanik dalam sejarah, kemudian diserap ke dalam dan disamakan dengan festival Natal Kristen, menghubungkan perayaan ini dengan Wild Hunt, dewa Odin, dan Modranicht Anglo-Saxon pagan. Persinggungan paling awal dengannya berbentuk nama-nama bulan, di mana periode Yule-tide berlangsung sekitar dua bulan, jatuh sepanjang akhir tahun kalender modern antara pertengahan November dan awal Januari, sebagai festival tengah musim dingin.

Pohon

Lebih ke timur, kita mendapati orang Slavia pagan memiliki festival musim dingin Koliada, juga digabung ke dalam Natal. Janggut putih panjang Santa Claus diambil dari Odin, sang pemimpin Wild Hunt, dan dia menyandang nama-nama Nordik Lama, Jólnir (bermakna “yule figure”) dan Langbarðr (bermakna “long beard”).

Jadi bagaimana festival pagan ini menjadi Natal? Saga Hákon the Good mengaitkan Raja Haakon I dari Norwegia dengan Kristenisasi Norwegia serta penjadwalan ulang tanggal Yule agar bertepatan dengan perayaan-perayaan Kristen yang diselenggarakan pada waktu itu. Pola ini serupa di tempat-tempat lain. Demi menghormati masa lalu Anglo-Saxon Cameron dan pencariannya akan makna, seiring Skotlandia berusaha memutus pertalian dengan Inggris, mari tengok tinjauan sejarawan Inggris abad pertengahan, Bede, dalam karya Latin abad 8, De Temporum Ratione. Mōdraniht (bahasa Inggris Lama untuk “Night of the Mothers” atau “Mother’s night”) adalah sebuah acara yang diadakan di Malam Natal oleh kaum pagan Anglo-Saxon. Pada Eostur-monath Aprilis (April) terdapat perayaan festival musim semi, dipersembahkan untuk dewi Eostre.

Ēostre atau Ostara (Inggris Lama: Ēastre, dialek Northumbrian: Ēostre, Jerman Tinggi Lama: *Ôstara) adalah seorang dewi Jermanik yang, lewat bulan Jerman yang menyandang namanya (Northumbrian: Ēosturmōnaþ, West Saxon: Ēastermōnaþ, Jerman Tinggi Lama: Ôstarmânoth), senama dengan festival Paskah, sebagaimana nama festival Paskah Kristen diambil dari bulan ini beserta dewinya. Bahkan ritus dan perayaan May Day tradisional Britania mencakup tarian Morris, penobatan seorang May Queen, sementara perayaan dengan maypole berasal dari adat-istiadat pagan Anglo-Saxon yang diadakan selama “Þrimilci-mōnaþ” (nama Inggris Lama untuk bulan Mei yang berarti Month of Three Milkings).

Sekarang soal kepercayaan aktual. Sensus 2011 menemukan 59% orang Inggris dan Wales mengaku Kristiani—turun dari 72% satu dasawarsa sebelumnya. Di Skotlandia angkanya 54%—turun dari 65%—sementara persentase di Irlandia Utara turun tipis ke 83%. Tapi angka-angka ini tidak menceritakan seutuhnya. Sebagian besar orang yang hadir [di gereja] adalah imigran Katolik Roma teguh dari Polandia, atau gereja-gereja evangelis semisal Jesus House yang dipimpin orang-orang Nigeria.

Gereja

Dalam hal kehadiran, lebih banyak orang mendatangi masjid daripada gereja. Komentar paling jujur mungkin datang dari Peter Hitchens, kolumnis Daily Mail dan seorang Anglikan teguh. Dia adalah adik mendiang ateis Christopher Hitchens. Peter bilang, agama Kristen hanya penting bagi Cameron ketika dia, seperti banyak orang lainnya, mencoba memasukkan anak-anaknya ke sekolah “agama”, di mana standarnya konon lebih tinggi daripada mayoritas sekolah negeri.

Bahkan jumlah anak-anak dan orangtua yang ikut misa menunjukkan peningkatan menarik ketika mereka berusaha masuk sekolah-sekolah Katolik lokal. Pada 2007, suratkabar yang sama melaporkan bahwa orangtua Sikh dari anak empat tahun bernama Maya Kaur pindah agama ke Katolik untuk memastikan puteri mereka masuk sekolah Katolik di Cleveland.

Sebagai pengingat tajam dan suram atas penghancuran akar pagan, Celtik, dan Anglo-Saxon kuno Britania, perlu diketahui bahwa yang memaksa perpindahan agama ini bukanlah keyakinan sejati melainkan kekuasaan. Namun tampilan luar Kekristenan tidak dapat menyembunyikan kejatuhan sebuah sistem kepercayaan yang dipaksakan di berbagai masa selama 2.000 tahun terakhir. Jika Cameron ingin jujur pada akar kunonya, dia akan memeluk kepercayaan pagan yang ditumbangkan oleh Kristen di Britania.

Parade pagan di Inggris

Dengan realita masyarakat pasca-Kristen saat ini, mungkin sekarang para penghuni Kepulauan Britania bisa menengok India dan melihat bagaimana kepercayaan-kepercayaan yang dicela oleh Kristen sebagai musyrik dan keberhalaan bukan saja bertahan tapi tumbuh subur. India menawari Britania pasca-Kristen sebuah mercusuar spiritualitas terbarukan, yang sudah dimulai dengan ledakan minat pada yoga, meditasi, dan New Age.

One thought on “Inggris Alami Krisis Identitas Karena Abaikan Akar Pagannya?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.