Januari 2015
Sumber: Smash Christianity
Seluruh sejarah monoteisme Ibrahimik adalah bukti instabilitas keagamaan tiada henti, suasana konflik dan fragmentasi, segersang gurun tempat asalnya, akibat bigotri dan fanatisme mereka yang melekat.
Yahudi lahir ketika mereka berpisah dari komunitas Semit politeistik (bani Kanaan) yang mengambil salah satu dari dewa-dewa panteon regional sebagai dewa tunggal sejati. Di antara umat Yahudi, selain Zelot dan Eseni, muncul faksi-faksi yang saling berhadapan semisal Farisi dan Saduki.
Dari Yahudi, orang-orang yang beriman bahwa Yeshua (Yesus) adalah Mesias berpisah dari orang-orang yang tidak mengakuinya sebagai Mesias, menyebut diri mereka “Kristiani”. Selanjutnya, ketika Kristen menyebar lewat Yunani dan Romawi bagai wabah, lahirlah banyak sekte Kristen.
Di abad ke-7, Islam muncul, mengadopsi kepercayaan Yudaisme dan Kristen dan kemudian berkonfrontasi dengan Yahudi dan Kristen dalam perang politik dan agama yang berdarah-darah, dan memecah mereka ke dalam sekte-sekte Islam lain.
Pada 1054, gereja pecah menjadi Ortodoks dan Katolik, dan dengan dua ini bentroklah Protestan ratusan tahun kemudian pada abad 16, yang pada gilirannya beranekaragam menjadi banyak denominasi (Lutheran, Metodis, Calvinis, Baptis, Anglikan, Pantekosta, Advent, dll). Dalam kata-kata filsuf Yunani abad kedua, Celsus:
Semangat kefaksian sedemikian hebat sampai-sampai hari ini pun di antara umat Kristen, jika semua manusia menjadi Kristen, mereka takkan menolerirnya. Mula-mula, ketika mereka berjumlah kecil, semuanya digerakkan oleh sentimen yang sama; setelah berjumlah banyak, mereka terpecah ke dalam sekte-sekte dan setiap sekte mencoba membentuk kelompok terpisah, sebagaimana mula-mula. Begitu tersekat dari mayoritas besar, mereka saling melaknat, mempunyai satu-satunya kesamaan, tentu saja nama Kristen, yang dengan nama ini mereka saling bertengkar.
—Celcus, A Discourse against the Christians, bab III
Dari perilaku tak konsisten dan memecah-belah ini, khas ibrahimisme, kaum ateis dan materialis mendapat sekumpulan omong-kosong untuk menciptakan citra palsu agama sebagai “secara universal tak konsisten dan memecah-belah”.
Dari awal, Kristen selalu bercirikan intoleransi dan kekerasan pendirian, menganggap dirinya satu-satunya jalan keselamatan untuk semua manusia di planet ini; ciri-ciri ini diwarisi oleh Yudaisme, sumber Kristen. Ini justru membuktikan bahwa keyakinan menganggap setara semua manusia adalah bentuk intoleransi terbesar, lantaran diasumsikan sebagai dogma keimanan bahwa satu agama atau moralitas adalah sah dan mengikat untuk semua manusia, dan oleh karenanya dipaksakan pada mereka, bahkan tanpa sekehendak mereka. Aspek ini kemudian diperbarui dengan doktrin-doktrin egaliter besar dan jahat: Revolusi Prancis dan Komunisme.
Kaum pagan, mengakui perbedaan di antara bangsa-bangsa, juga mengakui bahwa bangsa-bangsa menyembah dewa-dewa yang berbeda dari mereka dan mempunyai adat-istiadat berbeda, dan mereka takkan pernah terpikir untuk mengajarkan agama atau moral mereka sendiri di luar bangsa mereka. Akan konyol jika mereka mengajarkan penyembahan Odin kepada bangsa kulit hitam, sebagai contoh, dan mereka tak peduli bangsa-bangsa Semit menyembah Moloch.